Connect with us

Rara dan Kegagalan Elit Pusat Memahami Aceh

Artikel

Rara dan Kegagalan Elit Pusat Memahami Aceh

 

Oleh M. Rizwan Haji Ali | Dosen Prodi Ilmu Politik, FISIP, Universitas Malikussaleh
—-
Berita utama menjelang PON di Banda Aceh tertuju ke Stadion Harapan Bangsa. Sang Pawang Hujan yang sempat viral di Sirkuit Mandalika, Rara, melakukan ritual halau hujan di stadion besar itu , di Aceh Besar. Ia beratraksi melafal mantra. Mengusir rahmat semesta. Tapi hujan malah mengguyur dengan deras. Allahumma shayyiban nafi’an.

Bulan lalu sejumlah penduduk di wilayah Aceh Besar yang dilanda kekeringan ekstrim menggelar shalat istisqa. Shalat khusus untuk memohon kepada Allah SWT supaya diturunkan hujan sebagai penyejuk alam dan penyiram tanah yang kerontang. Alhamdulillah hujan turun.

Rara ternyata dihadirkan oleh dua BUMN Widia Karya dan Nindya Karya. Dua perusahaan infrastruktur plat merah yang terlibat dalam penyiapan infrastruktur PON. Dengan maksud untuk kesiapan penyelenggaraan pertandingan olahraga di stadion terbesar di Aceh itu, maka didatangkan sang pawang hujan. Bukan pawang lokal, tetapi pawang dengan reputasi internasional.

Tanpa menyadari bahwa hal itu bukan saja mengakibatkan kontroversi di Aceh sebagai daerah yang memiliki kekhususan dalam bidang syariat IsIam, tetapi juga memantik sesuatu yang laten. Yaitu ternyata elit-elit pusat belum bisa sepenuhnya bisa memahami Aceh dengan segala keistimewaan dan kekhususannya. Sebuah latensi yang terus terpendam dalam konteks hubungan Aceh dengan para pengambil kebijakan di Pusat.

Hal ini memang tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi harus dicari jalan keluar oleh para pemimpin Aceh baik di Aceh maupun di Pusat untuk tidak henti-hentinya memberikan pemahaman tentang Aceh kepada para pengambil kebijaksanaan di Pusat. Bukan salah mereka tidak tahu Aceh, tetapi keengganan kita untuk mempertahankan Aceh di hadapan mereka.

Penolakan terhadap kehadiran Rara sebagai pembaca mantra adalah simbol keterpisahan Aceh dari politik nasional yang semakin berbalur mistik. Mistisisme tentang Raja Jawa dalam tarung kuasa. Aceh ingin tetap rasional dan tidak mudah terpukau oleh grolifikasi mantra Rara di Mandalika.

Sikap Pj Gubernur Aceh, Safrizal yang menyurati Wika dan Nindia untuk meminta maaf dan memulangkan Rara sungguh sangat tepat. Hal itu menunjukkan adanya penjaga dan pemimpin yang memahami Aceh secara lahir batin. Bukan sikap emosional, tetapi sebuah ekstraksi dari nilai sosio historis yang agamis.

Secara hipotetis, Safrizal bisa berani mengambil sikap tegas tersebut karena posisinya yang kuat sebagai wakil pemerintah pusat di Aceh. Sekaligus punya rasa yang kental sebagai orang Aceh. Ia paham bahwa jangan sampai masa pemerintahannya yang pendek meninggalkan jejak bahwa pemimpin Aceh sangat lemah dan hanya terdiam melihat hal yang mendistorsi aspek sosio-religius di Aceh. Bahkan tidak berani menegur pejabat Pusat yang salah mengambil sikap di Aceh. Tetapi Safrizal berbeda. Kita berharap Safrizal terus menjaga kehormatan Aceh saat PON berlangsung hingga selesai. Salut untuk Pak Pj. Gubernur.[***]

Dapatkan berita terbaru dari Bakata.id dengan berlangganan notifikasi portal berita ini.

More in Artikel

To Top