Connect with us

Capres untuk Kebebasan Pers

Artikel

Capres untuk Kebebasan Pers

Masriadi Sambo

Pegiat Media dan Pengajar di Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh. Email dimas@unimal.ac.id

ISU kebebasan pers tampaknya belum menjadi perhatian serius para calon presiden kita. Padahal, merujuk catatan Reporter Sans Frontiers atau Reporter Without Borders, organisasi pemantau media yang berbasis di Paris, tahun  2018 menempatkan Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara. Dengan peringkat yang sama dengan tahun lalu itu, maka posisi Indonesia berada di papan bawah. Indonesia memang lebih baik dari Filipina yang berada di peringkat (113), Myanmar (137), Kamboja (142), Malaysia (145), Singapura (151), Brunei (153), Laos (170), dan Vietnam (175). Namun Indonesia masih berada di belakang Timor Leste yang ada di peringkat 93.

Dalam pemeringkatan yang dilakukan Reporter Without Borders, ada tiga aspek yang menjadi tolak ukur dalam menilai kondisi kebebasan pers sebuah negara. Masing-masing: iklim hukum, iklim politik, dan iklim ekonomi. Iklim hukum menyoroti aspek regulasi sebuah negara terhadap kebebasan pers. Sedangkan aspek politik menyoroti kebijakan yang berdampak terhadap kebebasan pers. Termasuk dalam bagian ini adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Iklim ekonomi menyorot lingkungan ekonomi negara yang berdampak pada kebebasan pers.

Masriadi Sambo | BAKATA.id/FAUKAS

Indonesia dalam satu tahun terakhir ini, menurut data statistik yang dikumpulkan Bidang Advokasi AJI Indonesia, mencatat setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. Jumlah ini lebih banyak dari tahun lalu yang sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi tahun 2016 lalu (sebanyak 81 kasus), paling rendah 39 kasus pada tahun 2009 lalu.

Kekerasan fisik, berupa pemukulan, penamparan dan sejenisnya, masih menjadi jenis kekerasan terbanyak pada tahun 2018 ini. Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) selama Januari-Desember 2018, kekerasan fisik terhadap jurnalis setidaknya ada 12 kasus. Jenis kekerasan lainnya yang juga banyak adalah pengusiran atau pelarangan liputan dan ancaman teror, yang masing-masing sebanyak 11 kasus. Lainnya adalah perusakan alat dan atau hasil Liputan (10 kasus), pemidanaan (8 kasus).

Dominasi jenis kekerasan fisik dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis ini juga terjadi pada tahun 2017 dan 2016. Pada tahun 2017, jenis kekerasan fisik terdapat 30 kasus dari jumlah total 60 kasus. Tahun 2016 sebanyak 35 dari total 81 kasus kekerasan. Namun, tahun 2018 mencatat jenis kasus kekerasan baru yang itu sepertinya bisa menjadi trend mengkhawatirkan di masa-masa mendatang, yaitu berupa pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis berita atau komentar yang tak sesuai aspirasi politik terhadap jurnalis.

Tahun politik menjadi ancaman serius bagi jurnalis. Hari-hari ini, sudut pandang para pendukung calon kerap subyektif melihat berita. Cenderung menghakimi bahwa produk jurnalistik diidentifikasi sebagai dukungan terhadap kelompok politik tertentu. Dikhawatirkan subyektifitas pendukung partai politik, pasangan calon presiden atau pendukung calon anggota dewan itu menjadi titik tolak ancaman demokrasi. Pers, sejatinya menjadi urat nadi demokrasi. Karena itu, menjaga kebebasan pers, dan meningkatkan kualitas produk jurnalisme menjadi keniscayaan bagi bangsa ini.

Sepanjang musim kampanye calon presiden, belum terlihat keterbukaan informasi dan kebebasan pers menjadi isu penting bagi kedua calon presiden (Joko Widodo dan Prabowo Subianto). Isu yang cenderung menguat yakni ekonomi, agama, dan infrastruktur.

Sejatinya, kedua calon harus menyatakan sikap tegas mendukung kebebasan pers dengan indikator tertentu. Hanya pers yang bebas mampu mengawal pembangunan yang berkualitas. Patut diingat, Indonesia dimasa Suharto, memiliki pengalaman buruk masa lalu tentang kebebasan pers. Karena itu, calon presiden dan pendukungnya menunjukan sikap jelas dan terukur untuk menjaga dan mendukung kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di tanah air.

Pers Muka Dua

Di tengah tahun politik ini, sebaiknya komunitas pers dan institusi media menyatakan sikap politik dengan jelas. Hal itu pernah dilakukan The Jakarta Post lima tahun lalu dan mendukung Joko Widodo dalam kontestasi pemilihan presiden.  Sikap yang sama kerap dilakukan media massa dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat. Ini menjadi keterbukaan media menyatakan dukungan politik terhadap salah satu calon.  Sehingga publik bisa mengetahui, menilai, dan memahami sikap media lewat sajian informasi yang diberikan.

Namun, tahun politik kerap membuat media massa di tanah air “bermuka dua”. Mendukung pasangan calon tertentu dibalik produk jurnalistik yaitu berita. Menulis begitu banyak berita, foto dan lain sebagainya untuk satu calon yang diusung, sebaliknya jumlah minimal diberikan untuk calon lainnya. Sikap ini sesungguhnya tidak keliru, namun dapat disebut bermuka dua. Cenderung mengagitasi pembaca agar menyakini apa yang disampaikan media sebagai kebenaran. Walau, praktiknya “kebenaran” itu atas alasan kepentingan politik media.

Untuk menjaga sakralitas-independensi-media massa, sebaiknya media di tanah air menyatakan sikap lewat kolom editorial tentang calon tertentu. Sehingga, publik bisa memiliki penilaian sendiri atas sajian informasi media massa tersebut. Pada akhirnya, sikap media sesungguhnya harus mencerdaskan pembaca. Biarlah pembaca memberi penialian atas sajian informasi dan sikap politik media.

Menjadi rahasia umum, sebagian media massa tanah air dimiliki oleh politisi. Untuk itu, pemilik media cum politisi sejatinya tidak membawa media massa dalam tataran politik praktis. Biarlah media menjadi komunitas independen, bersikap atasnama kebenaran untuk membela kepentingan masyarakat.  Bukan semata-mata kepentingan politik.

Terakhir, seluruh kontestan dalam pemilihan presiden, DPR/DPRD/DPD sebaiknya tetap menggunakan ranah Dewan Pers sebagai institusi negara yang menangani pers. Jika tidak puas pada kinerja  media massa, gunakanlah hak jawab sesuai UU Pers dan mekanisme aduan lewat Dewan Pers. Jangan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan sengketa pers. Kekerasan menambah masalah baru, sesungguhnya  regulasi menyediakan  institusi sebagai pengadil tindak tanduk media massa di nusantara.

 

 

Dapatkan berita terbaru dari Bakata.id dengan berlangganan notifikasi portal berita ini.

More in Artikel

To Top