KEPALA Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Aceh, Marthunis, mengeluarkan edaran pemberlakuan jam malam untuk siswa di provinsi paling ujung Pulau Sumatera itu.
Sekilas kebijakan ini keren. Patut didukung oleh semua pihak. Namun, praktiknya bagaimana? Mampukan kepala cabang dinas pendidikan di kabupaten/kota mengawalnya. Atau kebijakan ini sekadar kebijakan populis untuk tidak mengatakan sekadar omon-omon.
Faktanya, Pak Marthunis, harus tau. Jam dini hari pun masih ada siswa yang nongkrong di kafe-kafe. Jika akhir pekan, jumlahnya makin bertambah.
Pak Marthunis pun tak mampu menjelaskan detail pengawasan terhadap siswa yang akan dilakukan. Apakah oleh guru bimbingan konseling, kepala sekolah atau oleh siapa? Bagaimana pola pengawasan ini. Jika siswa telah pulang dari sekolah, bagaimana membatasinya?
Berharap partisipasi aktif dari orang tua? Jika ini yang menjadi solusi, tentu tak mengeluarkan surat edaran pun, pasti sebagian orang tua sudah melakukannya. Sebagian lagi, mungkin diakali atau ditipu oleh anaknya. Modusnya beragam, mulai ada acara belajar kelompok, hingga memang terang benderang menyatakan duduk di kafe, lengkap dengan mainan uno atau vafe (rokok elektrik) sembari live tiktok.
Untuk itu, ada baiknya mengerahkan satuan polisi pamong praja dan wilayatul hisbah di kabupaten/kota. Satu sisi menerapkan pemberlakuan jam malam, sisi lain mengontrol penegakan syariat Islam.
Tidak perlu razia, cukuplah petugas satuan polisi pamong praja berdiri di kafe-kafe itu. Yakin saja, para siswa ini akan bubar dengan sendirinya. Sejauh ini, belum pernah terlihat gerakan itu.
Lalu, apakah jam malam siswa itu sebatas selembar kertas edaran, omon-omon, agar dicap populis, atau apa? Silakan Pak Marthunis menindaklanjuti fakta di lapangan itu. Tabek.

Subscribe to my channel

