BANG Didin, begitu saya memanggil editor senior di Penerbit Prenada Group Jakarta ini. Nama aslinya Syafruddin Azhar. Sosoknya kecil, pendek, mungil. Namun, dia suhu karatedo. Asli Ende. Merantau dan berkelana di Jakarta.
Gaya bicaranya khas Ende. Sedikit menyentak. Namun, sungguh dia orang baik. Sangat cepat mengangkat telepon. Jika pun sedang di jalan, dia akan mengabari bahwa sedang tidak bisa angkat telepon.
Kami berbicara lewat telepon sekian lama, baru belakangan baku muka di kantornya yang asri di Depok. Empat buku saya diterbitkan penerbit ini. Tiga buku ajar, satu novel.
Perkenalan pertama berawal dari novel. Lalu berbicara panjang lebar. Dia pula yang mengajak saya untuk menulis perkembangan jurnalisme yang akhir-akhir ini makin cepat. Maka lahirlah buku kecil yang kuberi judul Pengantar Jurnalisme Multiplatform. Ditulis bersama Jafaruddin Yusuf.
Sambutan pasar lumayan bagus. Kini buku itu cetakan kedua. Didin cerita, buku itu diedit oleh editor lainnya. Bukan dirinya.
Kami sering bicara ngalor-ngidul lewat telepon dan layanan whatsapp. Tapi, setahun terakhir saya memang jarang menghubungi. Dalam satu obrolan, aku sempat mengira Didin beragama Kristen. Begitu suara azan terdengar, Didin bilang, ayuk solat dulu.
Lah, dalam hatiku bukankah Didin, beragama Kristen. Melihat raut mukaku yang berubah, Didin tampaknya paham. Dia langsung senyum sembari berkata ‘jangan kira orang Ende beragama Kristen semua”.
Kami pun tertawa. Sejak saat itu, obrolan semakin sering masuk ke tema-tema lucu. Jauh dari tema buku.
Didin meninggal dunia setelah terjatuh di rumahnya, 2 Juli 2025. Saya baru mendapat kabarnya. Sungguh terkejut.
Tentu, banyak duka yang ditinggalkan Didin. Bagi orang yang mengenalnya. Didin tidak pernah menyakiti. Selalu riang dan gembira. Bugar dan sehat. Namun, waktunya telah tiba. Dia dipanggil pulang oleh sang pencipta. Khusnul khatimah.
| DIMAS