ArtikelBenang Asa Faisal, Produksi Tas Motif Aceh ke Nusantara

Benang Asa Faisal, Produksi Tas Motif Aceh ke Nusantara

ACEH UTARA – Di sebuah ruangan sederhana berdinding bata dan papan, suara mesin jahit tua berderit nyaring. Duduk di kursi plastik berwarna oranye, Faisal, seorang pemuda tekun, tampak fokus mengarahkan potongan kain di bawah jarum mesin.

Saat ditemui Bakata.net pada Sabtu (6/9/2025), suasana berbeda terlihat di rumah produksi kerajinan tas motif Aceh milik Faisal Faisal. Terlihat Potongan sisa kain (perca) berserakan di lantai, menjadi saksi kerja kerasnya membangun masa depan lewat keterampilan menjahit.

“Kalau kita mau berusaha dan sabar, rezeki pasti ada,” ucap Faisal sambil terseyum disaat diwawancari ditempat produksi kerajinan milik pribadinya, Sabtu (6/9/2025).

Faisal menceritakan sejak kecil sudah akrab dengan dunia menjahit. Setiap sore, Ia duduk disamping mesin jahit tua peninggalan keluarganya, sembari memperhatikan setiap gerakan sang nenek. “Dari sang nenek saya belajar cara memegang jarung, memasukan benang dan membuat pola bordir sederhana,” ujarnya.

Faisal mengatakan menjahit kini sudah menjadi hobinya, keterampilan menjahit tas bermotif Aceh kini menjadi jalan hidup dan sumber penghasilan. Tak hanya memenuhi kebutuhan keluarga, hasil karyanya kini sudah mulai masuk ke pasar nasional.

Meskipun, Faisal sempat bekerja di tempat lain sejak lulus SMA ditahun 2003, sembari belajar bisnis. Merasa cukup banyak menimba ilmu, dia memutuskan memulai kembali bisnis kerajinan tas motif Aceh secara mandiri pada tahun 2010.

Faisal mengatakan mulai menjalankan bisnis kerajinan tas motif Aceh dengan modal Rp500 ribu. Kerajinan pertama dibuat mulai motif pinto Aceh, rencong hingga kupiah meukeutôp. Kini, dari bisnis tersebut ia berhasil meraup omzet Rp30 juta perbulan.

Baca juga :  Tas Motif Aceh Terus Berkembang di Tengah Pandemi

 

“Dulu pekerja tiga orang. Alhamdullilah, kini sudah ada 30 tenaga kerja terdiri 5 laki-laki dan 25 perempuan. Semua tenaga kerja itu tetangga saya”katanya.

Faisal mengatakan walaupun berjumlah 30 orang perajin, tidak semua pekerja menjadikan garasi yang disulap menjadi tempat  produksi tempat para perajin bekerja. Seperti pengrajin wanita yang menjahit motif Aceh kebanyakan dilakukan di rumah masing-masing. Ketika sudah tahap finising, baru dilakukan di rumah produksi dan dilakukan pengrajin pria.

Dalam sehari, Faisal mampu memproduksi hingga 150 tas. Karya tangannya kini tak hanya diminati di pasar lokal, tetapi juga menembus pasar nasional, mulai dari Pulau Jawa, Sumatera, hingga Kalimantan. Bahkan, sejumlah pesanan juga datang dari berbagai negara di Asia Tenggara. Faisal tak menampik, dirinya bersama para perajin kerap harus lembur ketika banjir pesanan.

“Pemuda klimis itu mengaku, di awal merebaknya Covid-19 volume produksinya sempat menurun, meski tidak terlalu signifikan. Kini usahanya kembali berjalan normal. Namun, perjalanan melewati masa sulit itu bukanlah hal mudah.

Faisal harus berhadapan dengan lonjakan harga bahan baku, keterbatasan modal, hingga ketiadaan pesanan ketika wabah melanda dunia. Meski demikian, Faisal memilih untuk bertahan dan terus menjaga asa.

“Enam bulan pertama pandemi Covid-19, usaha kami sempat terhenti total tanpa satu pun pesanan yang masuk. Namun, setelah itu perlahan mulai ada permintaan kembali, meski jumlahnya belum terlalu besar.”

Baca juga :  Murthada, Plt Dirut Bank Aceh Utara

Seiring berjalannya waktu, usaha Faisal  kembali normal. Hingga saat ini, tidak ada satu pun pelanggan yang menyampaikan keluhan. Justru, beberapa di antaranya mengaku sangat puas dengan kualitas produk yang mereka terima.

“Bisa punya usaha sendiri, ada pekerja, dan bisa bantu orang lain, itu cita-cita saya,” ujar Faisal dengan penuh rasa syukur.

Faisa juga mengaku sangat bersyukur atas pelatihan menjahit yang difasilitasi Bank Indonesia di Gedung Bordir Ulee Madon.

Menurutnya, pelatihan tersebut menjadi kesempatan berharga bagi para perajin untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas produk. “Alhamdulillah berkat pelatihan, kami bisa menjahit lebih rapi, memilih bahan yang tepat, dan menghasilkan tas dengan standar yang lebih baik,” ujar Faisal.

Kini, kerajinan tas binaan Bank Indonesia itu tidak hanya menopang ekonomi masyarakat sekitar, tetapi juga telah menembus pasar nasional hingga internasional.

Dari sebuah ruang sederhana, Faisal membuktikan bahwa benang dan jarum bisa menjadi penggerak ekonomi. Setiap jahitan bukan hanya menyatukan kain, tetapi juga menjalin asa, sekaligus menyulam pertumbuhan ekonomi lokal yang lebih kuat.

Terdapat 17 Unit UMKM dan 500 Pengrajin

Keuchik Gampong Ulee Madon, Fikri, menuturkan bahwa dari 17 unit UMKM yang masih aktif, setidaknya ada 500 pengrajin yang terlibat langsung. Kehadiran mereka bukan hanya mengurangi angka pengangguran, tapi juga membuka harapan baru bagi banyak keluarga.

“Data yang kita peroleh, ada sekitar 500 pengrajin yang bekerja pada 17 UMKM tersebut,” ujarnya.

Baca juga :  Ini 7 Uang Kertas Terbaru di Indonesia, Bagaimana Uang Kertas Lama?

Hasil karya para perajin ini tak lagi sekadar mengisi pasar lokal. Beberapa produk bahkan sudah dipasarkan di Jakarta, Medan, hingga Bandung, dan menjangkau pasar internasional lewat kerja sama dengan toko online di Amerika, Bandabags. “Ada juga yang masuk ke supermarket maupun toko-toko di luar daerah,” tambahnya.

Namun, perjalanan para pengrajin tidak selalu mulus. Salah satu kendala utama adalah ketersediaan bahan baku. “Keluhan yang sering muncul, lamanya mendapatkan bahan baku. Karena masih diimpor dari China, para pengrajin kesulitan menentukan target pesanan,” jelas Salahuddin.

Meski begitu, semangat tak pernah surut. Para ibu rumah tangga di gampong menjahit motif khas Aceh di ruang sederhana rumah mereka. Setelah proses itu rampung, tahap penyelesaian akhir dikerjakan di rumah produksi oleh para pengrajin pria. Ritme kerja ini menjadi bagian dari denyut kehidupan sehari-hari masyarakat Ulee Madon.

Produk kerajinan ini tidak hanya dipasarkan secara perorangan, baik secara online maupun pesanan langsung. Namun, Fikri mengaku masih ada pekerjaan rumah besar: hak paten dan merek dagang. “Sampai saat ini belum ada merek atau hak paten. Kita sangat berharap pemerintah mempermudah pengurusannya, karena kerajinan motif Aceh sudah mendunia,” tegasnya.

Lebih jauh, ia juga menyuarakan harapan agar pemerintah membuat regulasi yang mendorong penggunaan produk kerajinan khas Aceh di setiap acara formal maupun informal.

“Kalau ada seminar atau pertemuan, gunakan produk khas Aceh. Karena Aceh dikenal kaya adat dan budaya,” pungkasnya

| MULYADI

Bagikan Postingan

Postingan Terpopuler

Pilihan Untukmu

Istri Pedagang Bakso; Pelaku Sok Akrab dengan Suami Saya…

Marlina Yanti (42) istri dari Korban pembunuhan Muhammad Nasir,...

Depan Manajemen Pupuk Indonesia, Bupati Alfarlaky: Selesaikan Kelangkaan Pupuk Subsidi

Aceh Timur — Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Al-Farlaky,...

Pelaku Penembakan Pedagang Bakso ; Saya Disuruh…

LHOKSEUMAWE – A, tersangka kasus pembunuhan Muhammad Nasir, pedagang...

Saat Etika di Ujung Jari

Pernahkah menyadari bahwa dalam hitungan detik, satu komentar atau...

600 Sumur Minyak Rakyat Aceh Timur Segera Beroperasi

ACEH TIMUR – Sebanyak 600 dari 1.200 sumur minyak...