Connect with us

Spirit Lailatul Qadar: Humanitas Tanpa Batas

Artikel

Spirit Lailatul Qadar: Humanitas Tanpa Batas

DI balik penjelasan “Kitab Kuning” tentang keutamaan Lailatul Qadar, biasanya terselip cerita-cerita legenda orang di masa lampau yang dianggap hebat. Tapi uniknya, di balik penuturan cerita-cerita orang hebat itu, justru terselip kesan bahwa legenda itu dipandang sebelah mata dan tak ada apa-apanya dibandingkan Lailatul Qadar.

Misalnya, kisah legenda tokoh Samun al-Ghazi –yang lebih populer di dunia Barat dengan sebutan Samson. Dia dijuluki al-Ghazi karena sepanjang hidupnya dilalui dengan berperang dan menaklukkan lawan.

Tidak ada satupun orang yang dapat menandingi keperkasaan Samun al-Ghazi. Dia selain menghabiskan waktu siangnya untuk berperang, di waktu malamnya juga dimanfaatkan untuk qiyamul-lail (ibadah malam). Masa hidupnya setara dengan masa 1000 bulan: bayangkan kemuliaan sosok Samun !

Sekalupun begitu, seperti disebutkan dalam kitab Durrat an-Nashihin, kemuliaan sosok Samun al-Ghazali itu dianggap tak seberapanya jika dibandingkan dengan keutamaan ummat Nabi Muhammad Saw yang menghidupkan malam Lailatul Qadar.

Di samping kisah Samun, ada juga kisah seputar keutamaan Lailatul Qadar yang mencatut seorang rahib khas (ulama khas) di masa Nabi Musa as. Dikisahkan raghib ini berkhalwat (bertapa) dalam posisi bersujud di atas puncak gunung yang tak ada sumber mata airnya.

Ketika Nabi Musa melintasinya saat perjalanan ke Turisina, beliau terkesima dengan rahib itu. Alangkah hebatnya hamba Allah ini beribadah di tempat yang jauh dari makhluk hidup, dengan cara berpuasa dan bersujud.

Nabi Musa bertanya kepada Jibril berapa lama rahib ini melakukan ritual itu? Dijelaskan oleh Malaikat Jibril bahwa rahib itu telah beribadah semacam itu selama 1000 bulan. Akan tetapi, lagi-lagi keutamaan yang ia dapat tak seberapa dibandingkan keutamaan ummat Nabi Muhammad Saw yang menghidupkan malam Lailatul Qadar.

Tampaknya, upaya komparasi keutamaan Lailatul Qadar dengan kehebatan tokoh-tokoh legenda sebelum ummat Nabi Muhammad merupakan bentuk kritik “Kitab Kuning” atas priviligitas atau klaim keistimewaan golongan atau trah tertentu. Terutama kritik priviligitas golongan dan trah Bani Israil.

Dalam QS. al-Maidah: 18, Allah Swt berfirman: Orang Yahudi dan Nashrani berkata, “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya.” Jika secara umum Bani Israil mengklaim priviligitas mereka di hadapan Tuhan, maka terlebih lagi tokoh idola mereka semisal Samun al-Ghazi dan rahib khas yang sudah diceritakan sebelumnya.

Jadi, dihadirkannya kemulian malam 1000 bulan (Lailatul Qadar) dalam ruang publik ummat Muhammad Saw sebab Alquran menolak klaim priviligitas golongan dan trah. Bahkan, Islam hadir untuk memperkokoh humanitas yang tanpa batas. Semua derajatnya setara dan memiliki peluang yang sama di hadapan Allah Swt.

Bukan berarti karena Lailatul Qadar diadakan di masa kerasulan Nabi Muhammad maka ummatnya memiliki priviligitas. Justru, Lailatul Qadar membawa pesan buat ummat sedunia bahwa masing-masing derajatnya setara dan memiliki peluang yang sama, tergantung usaha dan upaya yang dilakukan.

Ungakapan “Lailatul Qadar lebih baik daripada 1000 bulan” tak ubahnya seperti ungkapan “Yang paling mulia ialah yang paling bertaqwa di antara kalian.” Dus, Lailatul Qadar terdapat dalam bulan puasa sebab Alquran diturunkan di bulan Ramadhan. Puasa dan qiyamulllal di bulan Ramadhan bertujuan meningkatkan kualitas taqwa. Dengan kata lain, pesona Lailatul Qadar itu hadir dalam indahnya pribadi mukmin yang bertaqwa.

Bukankah, jika kita berhasil meningkatkan kualitas taqwa, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa masa lalu kita. Bagi kita pengampunan itu sudah anugerah Lailatul qadar. Lalu, kita mau mencari bentuk apa lagi dari pesona Lailatul Qadar…?

M. Ishom el-Saha
Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten

Dapatkan berita terbaru dari Bakata.id dengan berlangganan notifikasi portal berita ini.

More in Artikel

To Top