BAITUL MAL Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, mengalokasikan dana pendamping pasien untuk masyarakat fakir dan miskin. Wali Kota Lhokseumawe, Sayuti Abubakar pun mengapresiasi. Sayuti bahkan mengumumkan sendiri lewat video di akun tiktoknya program yang dianggap fenomenal se-Indonesia raya itu.
Maklum, awal mula, program ini dicanangkan Rp 100.000 untuk biaya pendamping pasien yang dirawat inap. Dikalikan lima hari. Praktis, per keluarga miskin dapat Rp 500.000. Sangat cukup untuk menemani pasien selama di rumah sakit. Toh, biaya rumah sakit untuk pasien juga gratis, ditanggung BPJS Kesehatan.
Untuk Aceh, kepesertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk masyarakat didaftarkan pemerintah daerah atau dibayar oleh Pemeirntah Aceh. Syaratnya cukup memiliki nomor induk kependudukan (NIK), kartu keluarga dan data kependudukan lainnya.
Program ini bagus. Itu pula membuat Sayuti Abubakar bangga. Sayangnya, tampaknya program ini tanpa ada perencanaan sama sekali. Tidak memiliki basis data berapa orang keluarga fakir dan miskin di Lhokseumawe. Berapa rumah sakit swasta dan milik pemerintah.
Sehingga, sepekan video Sayuti muncul dan viral, 150 proposal permohonan dana pendamping masyarakat tiba di Kantor Baitul Mal Lhokseumawe di Kompleks Islamic Center.
Lalu komisiner menghentikan program itu. Bagaimana rakyat lain? Tentu super kecewa. Cobalah bayangkan perasaan rakyat miskin itu, berharap dapat bantuan lalu baca pengumuman bahwa sudah ditutup. Kekecewaan kaum fakir dan miskin sungguh memilukan.
Dari awal program ini tampaknya kegiatan tanpa rencana, tegesa-gesa dan terburu-buru. Apakah karena inisiatif Baitul Mal Lhokseumawe atau inisiatif Wali Kota Lhokseumawe? Belum jelas hingga kini.
Yang sudah jelas, ternyata program sebaik dan sebagus itu hanya diplot Rp 50 juta. Sumbernya dana infak pegawai Pemerintah Kota Lhokseumawe. Sungguh miris. Ada idiom lucu beredar di kalangan masyarakat Lhokseumawe saat ini, program 50 juta, laba pencitraan senilai 1 miliar.
Ini memalukan Wali Kota Lhokseumawe. Sayuti sudah terkenal bahkan sebelum menjadi pejabat publik. Dia pengacara top di Jakarta. Karena itu, rasanya dia tak perlu pencitraan. Namun, diawal kepemimpinannya, program sejenis ini tampaknya perlu diperpanjang nafasnya, perlu juga mengevaluasi Baitul Mal, agar lengkap dengan rencana dan detail dalam program.
Sehingga tak ada lagi fakir dan miskin yang berharap tapi tak mendapatkan bantuan. Program jangan sekadar omon-omon semata. Tabek.