SUARA mesin amplas bertautan dengan kayu terdengar keras di sudut ruangan Desa Blang Weu Panjo, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Sabtu (1/11/2025).
Disitulah satu-satunya tempat memproduksi alat musik tradisional Kota Lhokseumawe, rapa’i uroh duek. Alat musik tabuh itu disusun rapi di sudut ruangan.
Sebagian bahan baku kayu berantakan, serbuk dan serpihan kayu menumpuk. Rapai uroh duek, merupakan salah satu alat musik tradisional dan cagar budaya khas Lhokseumawe.
Alat ini bukan sekadar alat musik, tapi juga simbol spiritual, sosial, dan identitas masyarakat Pasee—sebutan untuk Kota Lhokseumawe, Bireuen dan Kabupaten Aceh Utara—masa lampau.
Memiliki bentuk khas seperti bingkai kayu bundar, dilapisi kulit kambing, dan memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan rapai pada umumnya. Rapai Uroh Duek sendiri merujuk pada bunyi khas yang dihasilkannya yaitu duk, mendalam dan bergetar.
Selain menonjolkan kekuatan irama dan lirik, pada setiap tabuhan juga memiliki makna, setiap jeda adalah ruang untuk meresapi pesan yang terkandung dalam syair-syairnya.
Rapai Uroh Duek merupakan sebuah rapai duduk bersama. Dalam pertunjukan ini, para pemain disebut seurunee rapai duduk melingkar, menandakan kesetaraan dan kebersamaan. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, semua bersatu dalam dentuman yang sama.
“Ada tiga jenis rapa’i ini, tergantung ukurannya. Mulai berukuran 18 inci setengah, 19 dan 20 inci, pada ukuran tersebut yang menjadi perbedaan antara rapai uroh duek dengan rapai lainnya,” kata pengrajin pembuat rapa’i Junaidi.
Tangannya cekatan melihat mesin. Membentuk kayu menjadi alat musik populer di Aceh itu.
Cara bermain dalam rapai uroh duek yaitu dimainkan oleh tim, yang nantinya nada atau pun dentuman serta skil penabuh rapa’i saling beradu.
Rapa’i uroh duek selain ditampilkan pada suatu kegiatan tertentu, saat ini juga masih terdapat beberapa desa masih memainkannya.
Dia menuturkan, pembuatan rapai bahannya dasarnya harus menggunakan kayu jenis tualang, serta kulit kambing betina yang sudah tua serta telah melalui pengasapan yang cukup lama.
“Bahannya harus kayu tualang, karena itu berpengaruh pada bunyi yang dihasilkan nanti, itu yang membuat beda dengan rapai lainnya, lantaran terdapat beberapa rapai bisa menggunakan jenis kayu lain,” imbuh Junaidi.
Kini, musik tradisi berebut panggung dengan musik modern di Lhokseumawe. Musik modern berupa kelompok band kini menempati panggung live musik di sejumlah kafe. Butuh perhatian khusus pemerintah, agar alat musik ini lestari.
|KOMPAS

Subscribe to my channel

